Rindu Sama www.michaelRisdianto.blogspot.com Tentang pancinger, bulan, hujan dan ikan-ikan Raja Ampat
C
BERITA INI DIAMBIL DARI TULISAN MICHAEL RISDIANTO DI BLOGNYA www.michaelrisdianto.blogspot.com . Silahkan baca di blognya mike, jurnalis mancing yang sekarang lagi bekerja di petualangan yang lain.
Tetapi memang sulit mengharapkan GT monster di reef dangkal seperti ini karena biasanya ikan GT size monster lebih suka menyendiri di tubiran yang berarus kejam dan bukannya mejeng di mall tempat para abg seperti ini
Setelah ‘tenggelam’ di Jakarta beberapa bulan, tiba-tiba saja kami kembali lagi dengan riang ke Kepulauan Raja Ampat. Bulan Mei yang panas di Jakarta namun begitu dingin dan basah di Provinsi Papua Barat. Kami mendarat di Bandara Sorong tanggal 20 Mei lewat tengah hari dan langsung menemui kawan-kawan mancing kami yang telah sehari sebelumnya tiba di kota Sorong. Ada dua orang pemancing yang telah begitu dekat layaknya saudara yang menanti kami. Pak Handoko (Surabaya) yang kali ini membawa empat orang kawannya sebagai korban untuk diracuni mancing. Kawan-kawan Pak Handoko ini belum pernah mancing sebelumnya dan juga tidak kami kenal sebelumnya. Dan satu orang lagi adalah seorang yang telah kondang di jagat mancing Indonesia dan bahkan dunia, Pak Rudi (Rudi Hadikesuma). Nama terakhir adalah jagoan popping dan jigging Indonesia dan pemancing kelas dunia yang sayangnya dia tidak suka publikasi dan gaptek. Andai dia tidak gaptek. Nama-nama besar popping dan jigging dunia saat ini yang banyak didominasi orang-orang Jepang itu bisa dia ‘nodai’ dengan namanya. “Gae opo Maik, penting mancing, ora usah terkenal-terkenal an ora patheken”. Gak terkenal gak kurapan, kata Pak Rudi dengan logat Surabaya-nya yang khas itu. Huahahahaha!
Hotel Le Meridien yang letaknya ada di seberang Bandara Sorong tampak ramai siang itu. Rupanya ini adalah salah satu hotel favorit para pelancong yang datang ke Papua Barat, mungkin karena letaknya persis di depan bandara. Jika melihat padatnya tamu hotel yang kebanyakan adalah para penyelam ini, rupanya bulan kunjungan yang cukup padat ke Raja Ampat adalah bulan mei ini. Banyak sekali bule bersliweran di lobby hotel dan mobil-mobil sewaan terus datang dan pergi menurunkan dan menjemput tamu di depan lobby hotel. Tetapi saya lebih memilih mencari mba-mba penjaga coffee shop kecil di sudut lobby hotel. “Mba, njaluk kopi ne siji”. Saya pede berbicara dengan bahasa Jawa. “Kopi ireng Mas?”. Lha benar khan! Memang, banyak sekali pendatang dari Jawa di sini. Jika kita melihat mba-mba yang perawakan kecil, tidak terlalu putih, namun berdandan cukup apik dan bekerja di hotel-hotel di Sorong, kebanyakan dari Jawa. Atau keturunan Jawa. Atau orang yang pernah tinggal di Jawa. Coba sendiri kalau Anda tidak percaya saat nanti datang ke sini. “Mbak, njaluk kopi ne siji”. Itu petunjuk dari saya. Selanjutnya terserah Anda. Jadi ngopi silahkan, tidak jadi ngopi malah terus ngobrol silahkan. Paling tamu yang antri di belakang Anda yang manyun! Saya sebenarnya masih berniat melanjutkan pembicaraan dengan mba-mba penjaga coffee shop yang manis ini, sebab dia langsung nyerocos tanpa babibu “Mas, nanti iwakke jangan dilepas ya!”. Lho, lho, catch and release lho itu Mbak namanya! Tapi Pak Rudi yang sudah duduk di pojokan lobby hotel sudah teriak-teriak. “Kopi ku selak entek Maik, cepetan sini tho!” Kopiku dah mau habis Maik, cepet kesini! Wah gak ngerti acara anak muda Pak Rudi ini. Hehehehe.
Kali ini kami datang ke Papua Barat dengan harapan yang lebih. Bulan Maret lalu kami telah datang ke Raja Ampat. Trip yang mengesankan namun kami belum mendapatkan ikan yang benar-benar monster! Ada sih waktu itu beberapa ekor GT up 30 kg tetapi masih kurang memuaskan. Kali ini harus dapat yang lebih dan banyak! Apalagi Kapten D yang dulu memandu kami di trip pertama sudah jauh-jauh hari berpesan kepada kami agar menyiapkan fisik dan tackle kami. Siap-siap joran patah! Katanya. Areal yang akan kami datangi adalah areal yang berbeda. Lautnya lebih dalam dengan tubiran yang lebih terjal. Lebih minim fasilitas dan lebih jauh dari pemukiman dan pulau-pulau utama di Raja Ampat. Jadi siap-siap joran patah. Wah asyik juga nih kalau banyak tackle patah. Acara mancingnya akan seru. Tetapi karena Kapten D sudah berpesan seperti itu, saya banyak membawa tackle-tackle biasa yang sengaja untuk dipatahkan! Hehehehe. Tetapi jangan ditanya bawaan Pak Rudi dan Pak Handoko. All up PE8 dan semua rod nya extra hard dari semua merk papan atas. “Awas yo kon Maik lek joranku gak cuklek!” Awas ya kau Maik kalau sampai joranku tidak patah. Pemancing yang aneh memang Pak Rudi. Kalau sampai jorannya tidak patah, dia akan sangat kecewa. Ada-ada saja. Rudi Hadikesuma memang kini sudah malas berurusan dengan ikan-ikan kecil. Dia kini lebih senang mendapatkan satu strike sehari, tapi sizenya up 40 kg, daripada ikan 20-an kg meskipun itu 20 strike sehari. Makanya kalau kita ngintip tackle box dia sekarang, kita tidak akan menemukan popper. Melainkan senter-senter besar yang dijadikan popper. Hahahaha!
Waktu berlalu dengan cepat. Malam tiba-tiba datang begitu juga pagi. Mata seakan masih digantungi popper 140 gram saat kami berada di sebuah sudut remang di kawasan dermaga Sorong untuk loading barang ke kapal-kapal kami. Kami membawa semua perlengkapan. Persis seperti rombongan bedol desa yang tidak akan kembali selama sebulan mengadu nasib ke seberang pulau. Mulai dari minyak tanah, beras, terpal, dan lain sebagainya kami bawa. Buah-buahan, pisang, dan segala macam yang lain. Intinya semua keperluan untuk kemping selama seminggu di sebuah sudut Pulau B yang terisolasi. Namun anehnya meski jelas-jelas kami akan berada di daerah tanpa sinyal selama hampir seminggu, kami membawa banyak sekali ponsel dan gadget lainnya. Ada yang bawa Blackberry sampai 3 biji per orang, ada yang kombinasi (bb, nokia, iphone), ada yang ipod dan bb doang. Plus kami masih membawa dua telepon satelit. Kalau telepon satelit jelas memang berguna sekali untuk emergency. Lha kalau bb sampai 3 biji per orang. Ke daerah yang tiada sinyal selama seminggu? Jaman memang berubah. Kini ponsel sangat perlu ketika daerah tersebut tidak ada sinyal. Hahaha! Saya malah membawa empat ponsel meski dua yang lainnya adalah ponsel kelas cumi. Gelo-gelo! Padahal seharusnya bawa seperlunya saja, yang lain ditinggalkan di hotel disandingkan dengan barang-barang lain yang memang sengaja kami titipkan di hotel. “Abang, kita perlu hiburan di sana nanti, jangan ditinggal”, kata seorang abk mengomentari saya yang hendak meninggalkan ponsel di Sorong.
Satu speedboat kusam bermesin 25 PK x 2 langsung penuh dengan peralatan dan logistik. Meski begitu masih disisakan ruang untuk para pemancing bisa duduk selama perjalanan ke lokasi nanti. Sementara sebuah longboat sengaja dikhususkan untuk mengangkut abk dan sisa logistik lainnya. Kami kemudian melaju membelah lautan ke arah barat daya kota Sorong, dengan tujuan akhir yakni sisi luar Pulau B. Perjalanan yang cukup menyenangkan. Ombak tenang, nasi kuning, dan cipratan-cipratan air asin dari kedua sisi kapal kami nikmati dengan gembira. Sebenarnya andai cipratan-cipratan air laut dari kedua sisi kapal ini bisa dihalangi akan lebih nikmat rasanya perjalanan ini, sayangnya tidak bisa karena terpal penutup sisi kapal terlalu tinggi. Ah, apa artinya cipratan air asin dibandingkan dengan ikan size monster yang menunggu di depan sana?
Perjalanan tiga jam lebih pun tanpa terasa berlalu dan kami telah berada di areal ujung Pulau B dan sedang kebingungan untuk menentukan base camp. Seharusnya kami tidak perlu mencari sana-sini titik terbaik untuk dijadikan base camp, namun Kapten D andalan kami tiap pergi ke raja Ampat rupanya juga manusia biasa, dia bisa lupa dan juga disorientasi. Meski areal ini adalah arealnya memancing ikan-ikan tenggiri, ikan paling laku di Sorong, namun perubahan vegetasi di tepian pulau yang berhutan lebat ini membuat kami beberapa kali salah menepi. Sebenarnya banyak sekali titik yang bisa dijadikan lokasi base camp, namun sayangnya kualitas air tawarnya kurang baik. Terlalu keruh atau terlalu payau dan kadang terlalu tercampur dengan rendaman vegetasi yang membuat air berwarna kecoklatan. Namun kami akhirnya malah menemukan lokasi base camp yang sangat baik. Sebuah dataran di tepi sungai kecil yang airnya jernih, sejernih air dalam botol kemasan. Dan yang menakjubkan air ini mengalir deras dari dalam hutan di belakang kami. Lokasinya berada di sebuah teluk yang menghadap arah Selatan. Di belakang kami gunung dan hutan, di depan kami adalah lautan yang tenang. Sangat indah. Namun sayangnya jika melihat dua tanjung besar di sisi kiri dan kanan kami, kami tampaknya akan kehilangan sunrise dan sunset untuk beberapa hari ke depan. Tak masalah. Air tawar bening yang mengalir deras di samping tenda kami jauh lebih penting daripada rasa sentimentil saat menatap matahari bangun atau tenggelam.
Tenda kami bangun dengan cepat namun tak urung kami terkejar oleh senja yang tiba-tiba tenggelam. Berarti mancing baru bisa dilakukan esok hari. Sialnya genset kami mengalami masalah, jadi pada malam pertama kami melewati malam hanya dengan cahaya senter dan lilin. Bagi saya ini lebih baik karena suara alam menjadi begitu jelas. Namun bagi kameraman dan bagi peserta trip lain yang tidak biasa bergaul dengan kegelapan hal ini adalah masalah besar. Ditambah dengan hujan yang turun di malam hari, keindahan alam Raja Ampat tampil begitu unik bagi yang menyukainya, namun ini adalah sebuah kesusahan tiada tara bagi empat orang kawan baru kami (kawan-kawan Pak Handoko) yang rupanya belum terbiasa di alam. “Memang tidak ada resort atau penginapan di sini?”. Rumah penduduk satu buah saja tidak ada Om. Hehe. Inilah perbedaan besar mereka yang pergi ke ujung dunia ingin memancing dan mereka yang datang ingin snorkeling atau ingin berjemur di pantai.
Hari pertama kami terpisah dalam dua rombongan berbeda. Speedboat besar diisi oleh mereka-mereka yang akan full memancing. Sedangkan longboat akan kembali bergerak ke arah Sorong, untuk mencari kampung terdekat untuk menyewa genset baru. Sebenarnya genset kami tidak rusak, tetapi ada kabel khususnya yang tidak terbawa. Jadi bisa jadi nanti kami hanya akan menyewa kabel khusus itu dari pemilik genset di kampung terdekat. Sialnya, di longboat yang bertugas mencari genset baru ini adalah saya dan Pak Handoko. Kami harus rela kehilangan waktu sehari dibandingkan rekan-rekan kami yang lain demi genset. Namun tetap, meski tujuan utama kami adalah mencari genset, empat buah popping set sudah siap untuk dilemparkan di spot-spot yang akan terlewat nanti. Singkat kata akhirnya kami akhirnya mendapatkan gesnet di sebuah kampung. Dan segera kembali ke base camp. Di beberapa spot kami sempat popping namun rupanya arus kurang bagus. Hanya dua ekor barakuda yang saya dapatkan. Saya tidak suka barakuda karena bau dan fighting ability-nya lemah, namun karena ‘senyum’ ikan ini cukup manis, saya sempat mengambil gambarnya bersama dengan Om Y yang menjadi abk di longboat kami.
Speedboat utama mendapat hasil yang cukup mengesankan. Pak Rudi berhasil strike GT monster di areal Tanjung B, tanjung utama yang akan menjadi battle field kami di hari-hari mendatang juga, dan pemancing lain juga berhasil hooked up ikan GT-barakuda-dan hiu. Hiu adalah spesies yang dilindungi, kami juga tak berminat memancingnya, namun ada seekor hiu besar yang berhasil dipancing oleh newbie di kapal ini, rekan Pak Handoko bernama Surya dan sizenya up 50 kg. Suasananya kata kawan-kawan sangat seru. Ini yang penting, suasananya seru. Ikan tidak sempat difoto karena berontak saat berada di dekat kapal, namun sizenya monster! Berarti sudah dua buah monster yang naik hari ini. Hal ini sangat penting bagi kami kru Mancing Mania Trans 7 (MMT7). Sebenarnya ada tiga jika yang kami naikkan di longboat saya juga dihitung, beratnya juga up 50 kg, sayangnya itu adalah genset tua milik kepala Kampung W. Haha!
Malam kedua suasana di base camp kami menjadi lebih meriah karena lampu-lampu menyala terang. Namun hujan tak juga bosan mendatangi kami. Jadi saat makan malam kami berkumpul di tenda besar, tenda logistik dan dapur untuk baku cerita sambil makan malam dengan kru-kru lokal kami. Om M menjadi artis malam itu karena dia begitu mahir memainkan gitar akustik yang kami bawa dari Sorong. Semua beryanyi; lagu-lagu tradisional Papua, lagu Menado (lagu ini untuk olok-olok kru kami karena ada yang ditinggal minggat istrinya yang orang Menado), lagu-lagu nostalgia, dan bahkan lagu campursari Jawa. Campursari Jawa jatah saya. Kru-kru lokal itu request Sewu Kutho-nya Didi Kempot. Heran, di ujung Papua begini mereka kenal Didi Kempot! Inilah Indonesia yang sesungguhnya, beragam dan harmonis. Namun mereka hanya hafal sebaris lirik terakhir dari lagu ini yang berbunyi “Isik tresno sliramu”, masih cinta dirimu. Oooooo…. Jadi pernah ada yang patah hati dengan gadis Jawa rupanya! Tenang, tak masalah patah hati dengan gadis manapun, asal jangan sampai patah hati dengan ikan bobara (GT) ya, kata saya. Mereka ngakak berguling-guling karena geli. Dari beberapa kali ke Papua, saya berkesimpulan orang-orang Papua adalah orang yang sangat ekspresif dengan selera humor di atas rata-rata. Ingatlah mop-mop Papua yang klasik itu untuk mencari referensi tentang selera humor orang-orang Papua.
Sunrise yang pernah saya janjikan untuk selalu saya potret untuk seseorang benar-benar tidak terjadi karena setiap pagi terhalang tanjung besar di kiri base camp. Saya agak gundah karena ada sedikit yang kurang di pagi saya kali ini. Namun pikiran tentang ikan-ikan besar yang menarik deras reel segera membuat saya kembali lupa akan gundah. Belum juga lengan patah sebelah, belum juga popper habis sepuluh, empat rekan kami dari Medan dan Jakarta, yang bermimpi bisa berjemur di pantai dan bermalas-malasan di resort memutuskan untuk kembali ke Sorong. Mereka berencana untuk berpesiar menggunakan jasa operator diving, yang menggunakan kapal-kapal phinisi besar, ke areal Raja Ampat yang lain. Kami tidak menyalahkan mereka. Kami hanya sedih karena gagal meracuni mereka agar suka memancing. Gila, orang lain banyak yang bermimpi kami bawa ke sini, mereka malah memutuskan pulang untuk mencari spot snorkeling. Tak masalah, semakin sedikit pemancing semakin puas bagi kami menarik ikan-ikan besar di perairan ini. Kembali longboat hari ini bergerak ke Sorong mengantarkan mereka pulang. Jadi kini peserta trip tinggal tersisa lima orang; tiga kru MMT7, Pak Rudi, dan Pak Handoko. Siiiiiip! Ora kakean uwong. Ucap Pak Rudi. Tidak kebanyakan orang sekarang.
Hasil yang kurang memuaskan di hari kedua ini menginspirasi kru-kru lokal kami yang sehari-hari bertugas di darat (dapur dan logistik) untuk menggubah sebuah lagu, plesetan dari lagu Sio Mama (Ambon), menjadi Sio Bobara. Salah satu baris liriknya kira-kira dirubah menjadi begini: Sio bobara, beta rindu bobara e. Beta so besar begini, belum dapat, bobara mama e. Sialnya lagi mereka menggubah lagu ini untuk meledek kami para pemancing dan kru lokal yang bertugas di laut. Tak urung saat makan malam, kru-kru lokal kami ini pun kembali berguling-guling di pasir saling ledek. Wakakakakak!
Tidak boleh menyerah. Okelah jika dengan teknik permukaan kami kurang berhasil kali ini, kami masih bisa menerapkan teknik lain. Jigging menjadi pilihan karena kami hampir tidak pernah melakukan bottom fishing. Maka pada hari berikutnya kami sengaja meninggalkan semua tackle popping kami di darat agar bisa fokus jigging. Padahal spot jigging saja tidak punya. Saraf! Tetapi bukan Mancing Mania jika menyerah. Cari! Jadi hampir setengah hari penuh kami keliling sana-sini mencoba memainkan metal jig kami dengan berbagai gaya di berbagai titik mulai dari kedalaman 70 hingga 200an meter. Di sebuah spot dengan kedalaman antara 70-100 meter pencarian kami pun usai. Strike! Siapa lagi yang pertama strike kalau bukan Pak Rudi. Dan spesies yang bagus pula. Dogtooth! Maka kami pun fokus jigging di areal tersebut dan memanen begitu banyak ikan. Anehnya dengan teknik jigging kami tidak hanya mendapatkan ikan demersal. Bahkan ikan barakuda, tenggiri, rainbow runner yang notabene adalah spesies permukaan juga menyambar metal jig kami. Pak Handoko juga berhasil strike dogtooth cukup besar. Kami juga mendapatkan amberjack dan juga kurisi cablak tetapi sayangnya sizenya tidak besar sehingga saya malas mengambil fotonya. Sesampai di darat kini giliran kru lokal Papua yang bertugas di dapur dikejar-kejar oleh kru laut kami agar memasak yang paling enak beberapa spesies yang kami bawa pulang (tenggiri dan rainbow runner). Mereka ini memang tidak pernah berhenti berantem rupanya (baca; bercanda).
Malam kembali menjelang dan kami kembali bersatu di pantai yang berkerikil hitam bersih itu (sebenarnya inilah penyebab kenapa empat rekan kami yang mencintai pasir putih itu pulang, pasirnya tidak putih melainkan berkerikil hitam). Perut telah kenyang dan olok-olok juga telah habis. Saatnya membasuh hati dengan alunan syahdu gitar kopong yang dimainkan oleh Om M, juru masak kami. Kali ini dia memainkan sebuah lagu tradisional Biak (Om M adalah orang Biak) yang berjudul Wayo-wayo (atau Wae-wae), lagu yang menceritakan suku Biak di masa lalu saat berpetualang di lautan. Lagu yang menceritakan perjuangan hidup di laut, tentang para nelayan yang dihibur oleh cantiknya ‘tarian’ ikan wae-wae. Saya tidak bisa menghadirkan keindahan lagu ini disini, tetapi sungguh lagu tradisional ini akan membuat siapapun yang mendengarnya untuk teringat pada hal-hal terbaik dalam hidupnya; cinta, keluarga, cita-cita, dan Tuhan. Mungkin ini adalah malam terbaik yang pernah saya alami selama sekian tahun berkeliling negeri mencari ikan. Saat mendengar lagu ini, kita seperti terlempar ke ruang dan suasana yang sangat heroik namun sunyi. Tetapi jika kita mencari dimanakah letaknya, kita selalu hanya akan kembali melihat ke dalam hati kita masing-masing. Saking dahsyatnya lagu ini, Rudi Hadikesuma pemancing legendaris negeri kita itu sempat memutuskan mogok mancing dan ingin belajar main gitar saja dengan Om M di darat. Waduuuuh celaka! Kami menentangnya habis-habisan. Masak jagoan popping Indonesia pindah hobi main gitar?!
Kunci keberhasilan ekspedisi besar seperti yang kami lakukan ini tergantung pada banyak sekali faktor. Tidak cukup pada niat sekeras baja dan atau segunung uang yang kita habiskan. Tetapi bagaimana mengatur semua hal agar saling mendukung. Faktor alam adalah yaag terpenting yang harus kita terus perhatikan dengan teliti dan sikapi dengan arif. Jika kita datang ke tempat terisolasi seperti ini dengan pikiran yang sempit dan sikap yang kaku, dijamin separuh trip kita sebenarnya sudah gagal. Itulah kenapa trip-trip ke tempat jauh dan terpencil selalu tidak bisa dipaksakan. Dengan waktu sempit namun hasilnya luar biasa misalnya. Sulit. Waktu yang panjang diperlukan agar sebagai ‘tamu’ di tempat yang baru kita kemudian mengenal arena kita dengan wajar dan mendapatkan hasil serta hikmah terbaik darinya. Waktu yang panjang juga diperlukan agar kita bisa mengatur tenaga dengan baik karena banyak sekali hal yang harus kita urus.
Piranti popping kembali menjadi tackle utama kami di hari berikutnya. Rata-rata yang kami bawa adalah tackle kelas PE8 ke atas. Jika dipilah-pilah; rod kebanyakan adalah tipe XXH dan bahkan ada yang XXXH, reel 10000 dari dua buah merek terbaik, line PE8 up (ada yang PE12), leader 170 lbs up, popper 120 gram ke atas dengan mata kail 5/0. Pak Rudi untuk ‘senter’-nya (saya menyebutnya senter saking gedenya popper, malah memasang treble hook 7/0 Decoy. Jangan bermain-main dengan piranti Pak Rudi jika kita adalah pemancing yang popping sebulan sekali. Bisa patah tangan! Dan spot incaran kami hari ini adalah spot di sebuah selat yang berjarak sekitar 21 mil dari lokasi base camp kami. Lumayan jauh. Oleh karenanya bekal untuk makan siang kami bawa serta karena tidak mungkin kembali ke base camp. Kami akan merapat di pulau kosong saat rehat nanti. Pulau A namanya. Pulau yang indah dan telah beberapa kali masuk di layar kaca TV luar negeri saking indahnya. Sekitar pulau ini penuh dengan reef-reef sekukuran lapangan bola di berbagai titik. Popping ground yang luar biasa. Bulan Maret, kami telah pernah menjajalnya dan awesome! Kami berharap tidak bertemu rombongan turis diving yang pasti akan mengusir kami jika melihat aktivitas kami. Sebab, memancing bagi mereka adalah merusak alam.
Kami tiba saat sinar matahari membakar kepala dengan garangnya. Kapten D lansung menghentikan kapal di spot paling ujung dan meminta kami melempar ke dekat kepala arus. Strike! Pak Handoko yang mendapatkannya. Karena ruang yang masih cukup leluasa, Pak Rudi juga melempar, strike! Double strike ini kami alami hampir sepanjang hari saat berada di spot ini. Tetapi ukurannya tidak terlalu besar. Ikan GT sekitar 15-20an kg saja. Kami tidak terlalu terkesan namun merasa sayang meninggalkan spot ini karena letaknya yang jauh. Hari ini kami memang sedikit arogan. Tidak mau berurusan dengan GT kecil kalau bisa. Sebab kami perlu monster dan monster GT. Tetapi memang sulit mengharapkan GT monster di reef dangkal seperti ini karena biasanya ikan GT size monster lebih suka menyendiri di tubiran yang berarus kejam dan bukannya mejeng di mall tempat para abg seperti ini. Kami meninggalkan spot ini saat melihat di kejauhan awan hitam tebal berarak kea rah kami pulang nanti. Namun ternyata kami kalah cepat, di Tanjung B kami sudah terjebak badai yang datang tiba-tiba. Kami basah kuyup diterjang hujan angin yang keras. Badan serasa dicacah saja karena kapal kami tidak beratap sehingga angin dan hujan leluasa menyerang kami seperti anak panah yang menerjang kue keju. Alam yang megah meski menyakitkan. Tadi masih cerah terang benderang dengan langit biru, tiba-tiba menjadi seperti neraka.
Namun kami sampai di base camp dengan gembira karena Om M telah menyambut kami dengan pisang goreng dan teh hangat yang diletakkan di atas box ikan berwarna orange. Rupanya dia tahu kami pasti akan sangat menderita didera badai yang rupanya tampak dari base camp ini. Meski begitu dia buru-buru kabur karena kami belum-belum sudah kembali request lagu Wayo-wayo. Makan malam belum jadi Pak, nanti saja Wayo-wayo nya jawabnya sambil ngacir ke tenda logistik. Lelah. Badan lelah serasa habis kerja kuli. Namun inilah indahnya ekspedisi mancing. Begitu banyak kejadian terangkum sehingga nantinya jika kita kenang akan menjadi sebuah cerita yang indah. Beberapa dari kami kemudian masuk ke tenda untuk rebahan namun saya memtuskan untuk rebahan di atas kerikil pantai sambil berharap mendengar suara-suara merdu milik seseorang. Saya jatuh tertidur dan bangun udara dingin mulai berhembus dari atas gunung. Pertanda sebentar lagi gelap datang dan kita harus bersiap mandi dan berbenah agar bisa tidur nyenyak nanti malam. Biasanya usai mandi kami menghidupkan telepon satelit untuk satu jam lamanya karena sebelumnya kami berjanji kepada bos-bos kami di Jakarta bahwa telepon setelit akan menyala selama satu jam saat petang. Siapa tahu ada yang menghubungi kami karena suatu hal. Yang pasti tidak akan ada telepon cinta yang masuk.
Masih ada dua hari tersisa bagi kami untuk memuaskan dahaga pada strike ikan-ikan besar di perairan Raja Ampat. Sudah banyak strike menarik yang terekam di kamera. Dua hari tersisa adalah saatnya ‘berlibur’ alias semua boleh memancing! Kameraman mau memancing juga? Silahkan! Paling satu dua strike sudah meyerah. Abk atau kapten kapal mau menurunkan pancingan juga? Silahkan! Yang pasti kami semakin mengeliminir target kami. Pokoknya jangan ngurusin ikan kecil. Jadi popper yang kami pasang benar-benar yang besar saja. Juga spot-spot yang kami datangi kira-kira yang memiliki kemungkinan terbaik dihuni oleh ikan besar saja. Padahal sebenarnya siapa yang tahu isi lautan dan ikan berukuran berapa yang akan menyambar umpan? Namanya juga sudah strike banyak jadi kami sebenarnya mulai mencari-cari alasan agar bisa bersantai di atas l
Sehari telah berlalu dari fulmoon dan berarti hari ini adalah bulan baru hari pertama. Menurut warga Kampung W mulai saat inilah kita mudah mendapatkan ikan. Ikan apapun dengan ukuran berapapun. Ternyata benar. Di Tanjung B yang sempat kami umpat karena tidak memberi kami sambutan yang terbaik hari ini penuh bertabur strike ikan-ikan GT besar. Sehari ini saja saya menarik tiga ekor dengan size yang menarik. Pak Handoko dan Pak Rudi malah mendapatkan strike GT mama beberapa kali. Pokoknya hari ini kami benar-benar dimanja dengan strike yang mengesankan. Mungkin, hanya Cepy saja (host MMT7) yang boncos karena hanya menarik satu ekor GT kecil. Hahahaha. Makanya Cep, kalau di laut jangan mikirin terus yang di Bandung, boncos dah! Wahahahahaha. Yang paling menarik adalah strikenya Pak Rudi saat berhasil hooked up GT hitam besar di ujung Tanjung B. Inilah kenapa saya selalu hormat dengan pemancing ini. Dia tidak pernah kehilangan fokus pada hasratnya untuk menggaet ikan-ikan besar.
Ceritanya begini. Tiba di sebuah poin kami berbarengan melempar. Dan semua juga yakin bahwa poin ini ada monsternya karena ini adalah tubiran yang sedang berarus deras. Semua memainkan popper dengan baik. Lemparan juga sama jauhnya. Tetapi selalu, kalau ikan besar selalu menyambar popper Pak Rudi. Bagaimana tidak, kami rata-rata memakai popper 120 gram. Pak Rudi memakai popper sebesar mentimun besar (sekitar 140 gram lebih beratnya) yang suaranya grok….grok…grok… kencang sekali seperti suara babi hutan. Jadi jelas popper yang lain diabaikan oleh sang monster karena dia merasa ada target yang lebih menarik dan mengenyangkan yakni popper Pak Rudi.
Tidak banyak pemancing yang terus fokus seperti Pak Rudi. Saya sempat mencoba memasang popper besar sebelumnya, Pak Handoko juga, tetapi capek kalau sepanjang hari memakai itu. Bisa cidera kita karena juga tidak terbiasa. Tetapi hasrat mah sama, kami juga ingin hooked up GT monster. Tetapi dia yang fokus lah yang berhasil, Pak Rudi yang sepanjang hari hanya memasang popper besar dan memakai piranti berat yang hooked up. Mental dan fokus yang seperti inilah yang harus dimiliki jika kita ingin hooked up GT mama. Bisa saja sih dengan popper kecil dan piranti kecil kita strike GT monster. Tetapi apa yakin bisa naik? Pak Rudi sudah mempersiapkan semuanya, jika monster GT yang meyambar, tidak akan terlepas jika bukan karena kecelakaan karena semuanya telah dipersiapkan untuk ikan besar, termasuk mental dan pikirannya yang tetap fokus. Total GT mama yang naik hari ini ada empat ekor. Dua oleh Pak Rudi dan dua oleh Pak Handoko. Saya lagi-lagi masih kebagian GT kategori abg saja, up 20 tetapi under 30 kg. Semua ikan dirilis kembali dalam keadaan sehat.
Akhirnya tiba saatnya hari beramal. Maksudnya hari beramal adalah hari terakhir mancing dimana semua hasilnya akan diberikan kepada semua kru lokal yang membantu kami. Ini sebenarnya tidak selalu kami terapkan melainkan jika diminta saja dan kebetulan pada hari terakhir ini kru-kru lokal kami meminta oleh-oleh untuk dibawa pulang ke rumah untuk keluarga mereka. Hal seperti ini kami terapkan hanya di daerah tertentu yang terpencil dimana chance warga mendapatkan ikan besar sangat kecil karena berbagai keterbatasan misalnya mahal dan sulitnya mendapatkan bbm sehingga warga sulit melaut jauh-jauh dari lepas pantai, keterbatasan peralatan memancing, kondisi geografis yang gersang sehingga kehidupan cukup sulit, dan lain-lain. Namun beramal disini tidak serta-merta kami jadikan alasan memancing sebanyak mungkin, kami tidak pernah melakukannya, semua tetap pada batasan secukupnya saja. Dan biasanya karena ini hari beramal kami biasanya akan bangun siang dan malas-malasan dahulu sebelum berangkat, isitirahat siang cukup lama, dan nanti akan pulang cepat-cepat, sehingga hasil pancingan kami pun juga tidak pernah banyak karena waktu memancing yang sedikit. Curang yak?! Karena kami popping, maka ikan-ikan yang diamalkan adalah ikan-ikan GT, ada beberapa ekor, cukup untuk seluruh kru membawa tanda mata bagi istri tercinta di rumah esok hari. Hari terakhir memancing yang menyenangkan untuk semua yang terlibat di dalam perjalanan ini.
Esok harinya kami bersiap sejak pagi buta. Membongkar tenda dan mengemasi semua barang dengan baik. Sarapan lalu melaju dengan cepat menuju Sorong. Saat seperti inilah semua hp yang kami bawa saat beragkat waktu itu menjadi penting. Semua sibuk mencari-cari sinyal selama perjalanan. Untuk kemudian mengabari keluarga di rumah (bagi yang sudah berkeluarga), mengabari pacar, mengabari kantor, atau untuk berkabar ke komunitas mancing di jagat internet yang pasti akan iri dengan trip kami. Kami akhirnya kembali tiba di hotel tempat kami menginap beberapa hari yang lalu, Le Meridien Sorong, dan kembali disambut dengan senyum mba-mba penjaga coffee shop yang menagih ikan-ikan pancingan kami. Andai bisa membawa satu ekor saja ikan untuk mba-mba ini pasti dia juga akan ikut berbahagia seperti kru-kru lokal kami. Tetapi kami tidak melakukannya. Badan yang lelah dan juga sinyal hp yang kuat kemudian menyita waktu kami semua, membuat kami untuk selanjutnya berdiam diri di dalam kamar hotel masing-masing untuk ‘bercinta’ dengan hp masing-masing.
Subuh di tanggal 27 Mei 2011, kami semua sudah berada di Bandara Sorong menunggu pesawat untuk kembali ke rumah dan atau kantor masing-masing di Surabaya dan Jakarta. Lagi-lagi untuk kembali ‘popping’, namun kali ini bukan ‘popping’ GT melainkan ‘popping’ rejeki dan prestasi bagi kehidupan yang masih harus terus berputar. Semangat!!! Salam!
MANTABBBBBBBBBBBBBB
BalasHapus